Bahan bakar fosil (minyak bumi dan gas) merupakan sumber daya primer yang sampai saat ini masih menjadi sumber energi utama dalam memenuhi kebutuhan energi Indonesia. sebagai sumber energi utama seharusnya sumberdaya migas dikelola dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat. Namun, pada realitanya pengelolaan migas di Indonesia sekarang ini yang dilakukan oleh BP Migas banyak dinilai tidak pro terhadap kepentingan penduduk Indonesia. salah satu contohnya yaitu kebijakan BP Migas yang dirasa lebih memilih perusahaan asing daripada Pertamina sebagai national oil companydalam memenangkan tender beberapa blok migas di Indonesia.
Polemik mengenai keberadaan BP Migas ini bermula ketika disahkannya UU No.22 Tahun 2001. Dengan diberlakukannya undang-undang ini maka mengakhiri posisi Pertamina yang saat itu tidak hanya sebagai national oil company, melainkan juga sebagai penentu kebijakan terkait sektor migas di Indonesia. sejak saat itu posisi Pertamina hanya sebagai kontraktor yang memiliki kedudukan yang setara di mata BP Migas jika dibandingkan dengan perusahaan minyak yang lain, dari mulai perusahaan minyak dalam negeri yang lain seperti Medco sampai perusahaan-perusahaan migas internasional seperti Chevron, Exxon, BP, CNOOC, dll.
Perumpamaan seperti makan buah simalakama sepertinya cocok untuk menganalogikan polemik pengelolaan migas di Indonesia. disatu sisi BP Migas sebenarnya wajar jika lebih memilih untuk memenangkan tender pengelolaan blok migas kepada perusahaan multinasional, karena sudah jelas perusahaan-perusahaan tersebut memiliki pengalaman jauh lebih banyak daripada Pertamina. Selain itu budaya riset di perusahaan multinasional juga terkenal sangat baik, imbas dari riset yang baik terlihat dari perkembangan peralatan dan metode dari masing-masing perusahaan multinasional.
Namun disisi lain Pertamina sebagai perusahaan minyak nasional selalu merasa menjadi anak tiri di tanah sendiri. Beberapa lapangan minyak yang sekiranya mampu ditangani oleh pihak Pertamina malah dimenangkan oleh kontraktor asing, salah satu contohnya adalah lapangan Donggi Senoro, gas hasil lapangan ini malah diolah oleh kontraktor asing. Walaupun Pertamina sudah menyanggupi untuk mengolah gas hasil lapangan ini.
Dengan kondisi seperti ini berarti sudah jelas bahwa Pertamina memiliki kemungkinan menang yang rendah jika diadu secara bebas dengan ratusan perusahaan minyak lainnya, baik itu yang multinasional maupun perusahaan dalam negeri lain. lalu timbul sebuah pertanyaan mendasar, apakah Pertamina mampu memenangkan persaingan ini dan menjadi penguasa di negeri sendiri atau kalah dan berakhir pada kebangkrutan perusahaan. Kemungkinan untuk memenangkan persaingan ini selalu ada, tinggal bagaimana tindakan Pertamina untuk meningkatkan peluang untuk memenangkan persaingan bebas ini.
Yang jelas modal utama Pertamina untuk memenangkan persaingan ini yaitu pengalaman Pertamina yang sebenarnya sudah cukup banyak dalam mengelola beberapa lapangan minyak di Indonesia dan sumberdaya manusia yang melimpah. Namun dilain pihak ada beberapa kekurangan yang harus ditanggulangi dari Pertamina sendiri. Yang paling jelas yaitu budaya riset yang rendah di internal Pertamina. Sampai saat ini Pertamina belum memiliki lembaga riset internal yang berfungsi untuk mengembangkan keilmuan dari teknik perminyakan itu sendiri. Tanpa adanya hasil riset yang baik maka Pertamina akan selamanya menjadi konsumen dari teknologi asing, Pertamina harus bergantung pada perusahaan jasa perminyakan dalam mengelola seluruh asetnya. Sehingga makin banyak uang rakyat yang mengalir menuju ke kantong-kantong asing.
Selain itu salah satu kekurangan yang patut ditanggulangi yaitu etos kerja SDM yang rendah. Walaupun Pertamina sendiri memiliki kuantitas sumber daya manusia yang tinggi namun kualitas dari para pegawai lapangan Pertamina sendiri terkenal tidak terlalu baik. Banyak larangan-larangan terkait HSE (Health and Safety Environment) yang dilanggar oleh pegawai Pertamina sendiri. Tentu saja kebanyakan penduduk Indonesia masih ingat dengan kebakaran di tangki penampung minyak di stasiun pengumpul cilacap yang merupakan salah satu contoh human error di oleh pegawai Pertamina sendiri.
Dengan modal yang ada dan peningkatan progresif dalam menutupi kekurangan besar yang ada makan saya yakin dalam 10 sampai 20 tahun mendatang Pertamina bisa menjadi penguasa migas di Negara sendiri, tapi itupun kalau minyak Indonesia masih tersisa di bumi nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar